Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang baru-baru ini meluluhlantakkan beberapa kabupaten dan kota di Sumatera Barat bukan hanya menyisakan kerugian materi, tetapi juga menguji fondasi solidaritas kita sebagai bangsa. Pemandangan pilu infrastruktur jalan dan jembatan yang terputus, rumah yang hanyut, serta hilangnya nyawa saudara kita, menuntut kita untuk bergerak melampaui sekadar keprihatinan.
Saat ini, Sumatera Barat berada di fase kritis, masa transisi dari tanggap darurat menuju pemulihan menyeluruh. Tugas ini adalah tanggung jawab kolektif, dengan Pemerintah Daerah dan Pusat berada di garis depan, didukung penuh oleh inisiatif masyarakat sipil.
Kecepatan adalah Kunci: Membuka Isolasi
Narasi utama yang mendominasi saat ini adalah putusnya akses. Jembatan penghubung yang tergerus arus sungai bukan hanya memisahkan kampung secara fisik, tetapi juga memutus denyut nadi perekonomian lokal. Ketika akses terhambat, bantuan sulit menjangkau, dan aktivitas ekonomi seperti distribusi hasil pertanian atau perdagangan terhenti total.
Di sinilah letak urgensi peran pemerintah. Pembangunan infrastruktur permanen memang membutuhkan waktu, studi kelayakan, dan alokasi anggaran yang besar. Namun, masyarakat yang terisolir tidak bisa menunggu. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota harus bertindak cepat tanggap dengan fokus pada pembangunan jembatan darurat dan pembukaan akses jalan sementara dalam hitungan hari, bukan minggu. Inilah wujud nyata kehadiran negara di tengah kesulitan warganya, sebagai jembatan (literally and figuratively) antara keterisolasian dan pemulihan.
Merajut Kembali Ekonomi dan Mentalitas Korban
Pemulihan pascabencana tidak cukup hanya dengan menimbun material dan membangun kembali fisik. Terdapat dimensi sosial-ekonomi yang harus diperhatikan secara seimbang. Masyarakat korban bukan hanya kehilangan tempat tinggal, tetapi juga modal usaha dan mata pencaharian.
* Pemerintah Pusat dan Daerah wajib menggarap skema bantuan yang holistik. Selain bantuan sandang dan pangan, dibutuhkan program stimulus ekonomi yang terfokus, seperti bantuan modal bergulir untuk UMKM yang hancur atau subsidi bibit/peralatan bagi petani. Ini adalah investasi jangka panjang agar masyarakat tidak terjebak dalam lingkaran kemiskinan pascabencana.
* Aspek psikososial juga tak kalah penting. Dukungan trauma healing harus diintensifkan, terutama bagi anak-anak dan warga yang kehilangan anggota keluarga, memastikan mereka dapat bangkit dengan mental yang pulih.
Keberimbangan dalam Gotong Royong
Meski fokus utama diarahkan pada kinerja pemerintah, narasi keberimbangan tidak boleh mengabaikan peran heroik masyarakat. Semangat basamo (bersama) dan gotong royong di Ranah Minang telah menjadi penyelamat awal. Komunitas, organisasi kemanusiaan, dan relawan dari berbagai daerah telah membuktikan bahwa solidaritas lintas batas adalah benteng pertahanan pertama saat bencana menerpa.
Namun, semangat ini harus disalurkan secara terkoordinasi. Pemerintah harus menjadi dirigen yang memastikan bantuan tidak menumpuk di satu titik dan memfasilitasi distribusi yang merata, efisien, dan tepat sasaran.
Sumatera Barat saat ini sedang diuji. Pemulihan akan memakan waktu, biaya, dan energi. Namun, dengan sinergi antara kebijakan cepat dan terarah dari pemerintah serta solidaritas murni dari masyarakat, kita yakin Ranah Minang akan kembali tegak. Ini adalah saatnya membuktikan bahwa di balik reruntuhan, terdapat fondasi persatuan yang lebih kokoh.
Padang, 11 Desember 2025
Penulis: Andarizal
