Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Luka Basah dan Longsor di Minangkabau, Antara Curah Hujan dan Tanggung Jawab Kita

28 November 2025 | 28 November WIB Last Updated 2025-11-28T03:43:47Z


Langit di atas Sumatera Barat terasa berat. Bukan hanya oleh mendung, tetapi juga oleh duka yang menggelayuti setiap sudut Ranah Minang. Dalam beberapa hari terakhir, hujan yang turun bukan lagi anugerah penyubur, melainkan cambuk yang tak terhindarkan. Dari hulu ke hilir, hampir semua kabupaten dan kota kini menyandang status korban, korban longsor dan korban banjir. Banjir bandang dan longsor telah mengubah pemandangan Kabupaten/kota dan Nagari yang semula asri menjadi lautan lumpur dan puing.


Foto-foto yang beredar di media sosial, termasuk yang kita saksikan, adalah cerminan dari tragedi kemanusiaan yang nyata. Di tengah arus keruh yang memutus jalan, kita melihat wajah-wajah pasrah mulai dari pria tua hingga muda berusaha keras mendorong sepeda motornya yang sarat muatan di tengah genangan setinggi pinggang, ibu-ibu menggendong bayi dan menuntun anak-anak, sementara rumah-rumah di belakangnya terendam hingga ke teras bahkan ada yang diterpa longsor. Ini adalah gambaran dari perjuangan hidup yang mendadak menjadi sangat, sangat berat.


Musibah ini meninggalkan luka yang menganga dalam. Kita kehilangan saudara, tetangga, dan sahabat yang tak sempat menghindar dari amukan alam. Mereka yang selamat harus menghadapi kenyataan pahit, harta benda yang dikumpulkan seumur hidup lenyap dalam sekejap, tenggelam atau terseret arus. Tenda-tenda pengungsian kini menjadi rumah sementara, di mana setiap malam dilalui dengan kecemasan dan rintisan doa. Rasa pilu ini menuntut empati terdalam dari setiap hati yang peduli.


Kini, di tengah keriuhan kabar duka dan upaya penyelamatan, muncul pertanyaan yang tak terhindarkan, sebuah renungan pahit. Apa yang sesungguhnya salah? 


Apakah musibah ini murni takdir alam yang tak terelakkan? Atau, apakah ini adalah alarm keras atas kekeliruan kolektif kita, mulai dari cara kita memperlakukan hutan di kawasan hulu, abainya kita terhadap penataan tata ruang yang berkelanjutan, hingga minimnya perhatian terhadap sistem drainase kota yang kian sesak?


Refleksi ini, meski menyakitkan, harus dilakukan. Kita harus berani menatap cermin. Sumatera Barat, dengan keindahan alamnya yang memukau, seharusnya memiliki strategi mitigasi bencana yang setara dengan potensi risikonya. Sudahkah para pemimpin kita, dari tingkat nagari hingga provinsi, menempatkan pencegahan bencana di puncak prioritas? Sudahkah dana dan kebijakan dialokasikan untuk memperkuat benteng pertahanan alam dan infrastruktur kita?


Namun, ini bukan saatnya menunjuk hidung. Amarah dan saling menyalahkan hanya akan menunda pertolongan yang sangat dibutuhkan. Seperti yang telah kita yakini bersama, fokus kita sekarang haruslah tunggal. Evakuasi dan Pemulihan. Kita harus memastikan setiap korban selamat terjangkau, logistik kebutuhan dasar tersalurkan dengan adil, dan infrastruktur vital yang terputus segera dibuka kembali. Ini adalah panggilan untuk aksi kolektif, sebuah ujian bagi nilai-nilai basamo (kebersamaan) yang kita junjung.


Mari kita hentikan sejenak perdebatan politik dan perbedaan pandangan. Mari kita turun tangan, menyumbangkan apa pun yang kita miliki, baik tenaga, dana, maupun sekadar doa dan dukungan moral. Sumatera Barat yang porak poranda ini membutuhkan uluran tangan kita untuk kembali berdiri.


Semoga Ranah Minang lekas pulih. Semoga air mata segera berganti dengan semangat untuk bangkit. Tugas kita, para pemimpin dan rakyatnya, adalah memastikan bencana ini menjadi yang terakhir, sebuah pelajaran mahal yang kita bayar dengan air mata, agar generasi mendatang dapat menikmati hujan tanpa rasa takut.


Padang, 28 November 2025

Penulis: AndariZal, KJI

×
Berita Terbaru Update